Gumpalan.com – Masalah warisan kerap menjadi persoalan di dalam masyarakat, khususnya keluarga. Warisan bisa menjadi sumber gugatan di pengadilan lantaran adanya pihak yang merasa dirugikan.
Hukum waris sendiri adalah salah satu hukum yang sangat tua dan punya banyak variasi berdasarkan nilai-nilai adat dan agama. Namun, secara garis besar kita sering menemui bahwa hak waris laki-laki lebih besar dari perempuan.
Hukum Waris sendiri diarikan sebagai suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga keturunan lurus disesuaikan dengan aturan adat masyarakat setempat yang lebih berhak.
Ada sejumlah hukum waris yang berlaku di Indonesia, seperti hukum adat disebut hukum Waris Adat, Hukum Islam disebut hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata bagi yang tidak memiliki hukum adat dan hukum Islam.
Dalam beberapa adat juga kerap terjadi selisih lantaran sering kurang jelas dan spesifiknya aturan tersebut, serta perkembangan zaman. Apalagi, beberapa hukum adat tidak memiliki aturan tertulis.
Nah, Mahkamah Agung (MA) sendiri sudah memiliki yurisprudensi terkait hak laki-laki dan perempuan dalam waris. Ini utamanya karena sistem adat di Indonesia mayoritas patrilinial yang lebih mengutamakan hak laki-laki dalam pembagian harta warisan.
Dan ternyata MA sudah cukup lama menyatakan tentang setaranya hak laki-laki dan perempuan dalam hal waris. Artinya, putusan MA ini menjadi sumber hukum untuk hak waris. Berikut adalah beberapa putusan MA yang secara konsisten menerapkan hal tersebut.
Sumber Putusan:
- 179 K/Sip/1961
Putusan yang Mengikuti:
- 415 K/Sip/1970
- 573 K/Pdt/2017
- 147 K/Pdt/2017
- 1048 K/Pdt/2012
- 1130 K/Pdt/2017
- 4766 K/Pdt/1998
Peraturan Terkait
- UU 23 (Stbld) 1847
- Undang-Undang 1 1974
- Undang-Undang 7 1984
- PERMA 3 2017
Kaidah Hukum
Atas Dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, perempuan mempunyai hak atas warisan orang tuanya atau suaminya sehingga mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan untuk memperoleh warisan dan mendapatkan warisan dengan bagian (porsi) yang sama dengan laki-laki.
Pengantar
Hukum Adat (Customary Law) di sebagian besar suku bangsa di Indonesia menganut paham patriarki dengan mengutamakan laki-laki dan anak laki-laki sebagai pemimpin keluarga yang mempunyai peran publik dan akan meneruskan keturunan serta kepemimpinan keluarga sehingga hanya laki-laki dan anak laki-laki yang dapat memperoleh warisan, sementara perempuan dan anak perempuan dipandang hanya dapat berperan di ranah domestik (rumah tangga), karenanya tidak memperoleh warisan atau memperoleh warisan dengan porsi setengah dari laki-laki atau bagian yang lebih kecil lagi.
Pendapat Mahkamah Agung
Melalui Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober 1961 dalam perkara Langtewas dkk melawan Benih Ginting terkait dengan sengketa kewarisan dalam adat Karo yang sangat kuat menganut paham patrilineal (garis keturunan Ayah), Mahkamah Agung menyatakan bahwa:
Mahkamah Agung atas rasa peri kemanusiaan dankeadilan umum serta atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, jadi juga di Tanah Karo bahwa seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan orang tuanya.
Pertimbangan hukum yang senada dijumpai puladalam putusan Mahkamah Agung dalam perkara sengketa kewarisan dalam hukum adat Batak Mandailing yang juga menganut paham patrilinealisme.
Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 415 K/SIP/1970 tanggal 16 Juni 1971 dalam perkara Usman Dkk melawan Marah Iman Nasution dkk menyatakan bahwa:
Hukum Adat di daerah Tapanuli kini telahberkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki;
Dalam perkara lain menyangkut kewarisan yang berlaku pada hukum adat yang secara tegas juga menganut paham patrilineal, yaitu Bali, dalam Putusan Nomor 4766 K/Pdt/1998 tanggal 16 November 1999, Mahkamah Agung kembali menggariskan kaidah hukum bahwa:
Perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris walaupun sistem pewarisan di Bali sendiri menganut sistem pewarisan mayorat laki-laki.
Putusan Mahkamah Agung terkait hak yang sama antara laki-laki dan perempuan di atas kemudian secara konsisten diterapkan dalam berbagai putusan Mahkamah Agung berikutnya yaitu putusan Nomor 1048K/Pdt/2012 tanggal 26 September 2012. Perkara ini terkait pembagian waris adat Rote Ndao Nusa Tenggara Timur. Putusan ini kemudian dimasukan ke dalam salah satu putusan penting (landmark decision) Mahkamah Agung di Laporan Tahunan Tahun 2012. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan:
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut di atas, dapat dibenarkan, Judex Facti/Pengadilan Tinggi Kupang yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Rote Ndao salah dalam menerapkan hukum karena pertimbangan Pengadilan Tinggi Kupang Tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, yaitu Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 179 K/Sip/1961 tanggal 11 November 1961 yang menyatakan bahwa hak waris perempuan disamakan dengan laki- laki. Artinya, hukum adat yang tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat, seperti hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki, tidak dapat lagi dipertahankan;
Penyetaraan hak waris perempuan kembali diputuskan Mahkamah Agung pada tahun 147 K/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017.Dalam perkara ini Mahkamah Agung memutus perkara waris terkait adat Tionghoa.Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan:
Bahwa dalam rangka kesetaraan gender ,hak wanita dan pria adalah sama dalam hukum, maka adil dan patut harta benda si peninggal waris harus dibagi sama oleh ahli waris tanpa membedakan pria dan wanita terlebih lagi hukum adat Tionghoa yang tidak tertulis dan harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman;
Bahwa adalah tidak adil memposisikan anak laki-laki tertua sebagai satu-satunya penerima warisan orang tua terhadap harta benda tetap, sementara anak perempuan hanya mendapat perhiasan;
Sikap serupa kembali diputus Mahkamah Agung Pada tanggal 19 Juni 2017 yaitu dalam putusan No. 573 K/Pdt/2017 terkait pembagian waris dalam adat Batak dan putusan No.1130 K/Pdt/2017 tanggal 10 Juli 2017 terkait pembagian waris dalam adat Manggarai Nusa Tenggara Timur.
Pandangan hukum yang berpihak pada kesetaraan dan keadilan gender sebagaimana termuat di dalam berbagai putusan di atas kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung melalui fungsi pengaturan atau legislasi dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentangPedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum pada tanggal 4 Agustus 2017.
Yurisprudensi
Dengan telah konsistennya sikap Mahkamah Agung Sejak tahun 1961 terkait hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kewarisan, maka sikap hukum ini telah menjadi yurisprudensi di Mahkamah Agung.